Sedikit
Uraian Sejarah Pendidikan Indonesia
Pendahuluan
“Knowledge is power”
Kutipan yang terkenal dari Francis
Bacon tersebut jelas mengungkapkan pentingnya pendidikan bagi manusia. Sumber
pokok kekuatan manusia adalah pengetahuan. Mengapa? Karena manusia dengan
pengetahuannya mampu melakukan olah-cipta sehingga ia mampu bertahan dalam masa
yang terus maju dan berkembang.
Dan proses olah-cipta tersebut
terlaksana berkat adanya sebuah aktivitas yang dinamakan PENDIDIKAN. Pendidikan
menurut KBBI berarti sebuah kegiatan perbaikan tata-laku dan pendewasaan
manusia melalui pengetahuan. Bila kita lihat jauh ke belakang, pendidikan yang
kita kenal sekarang ini sebenarnya merupakan ”adopsi” dari berbagai model
pendidikan di masa lalu.
Informasi mengenai bagaimana model
pendidikan di masa prasejarah masih belum dapat terekonstruksi dengan sempurna.
Namun bisa diasumsikan ”media pembelajaran” yang ada pada masa itu berkaitan
dengan konteks sosial yang sederhana. Terutama berkaitan dengan adaptasi
terhadap lingkungan di kelompok sosialnya.
Pendidikan Masa Hindu-Buddha
Sistem pendidikan pada masa lalu
baru dapat terekam dengan baik pada masa Hindu-Buddha. Menurut Agus Aris
Munandar dalam tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung
Suci di Jawa Timur Abad 14—15(1990). Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal
dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang
diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari
keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan
dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.
Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat dimana seseorang
mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan
petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak
diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan
dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada bangunan
yang bersifat artificial. Hal ini dikarenakan jumlah Resi/Rsi
yang bertapa lebih sedikit atau terbatas. Tapa berarti menahan diri dari
segala bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus
dari sang guru, dengan demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan
oleh seorang saja.
Istilah kedua adalah mandala,
atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala
merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah
kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta, murid, dan
mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh
hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut
dipimpin oleh dewaguru.
Berdasarkan keterangan yang terdapat
pada kropak 632 yang menyebutkan bahwa ” masih berharga nilai kulit musang di
tempat sampah daripada rajaputra (penguasa nagara) yang tidak mampu
mempertahankan kabuyutan atau mandala hingga jatuh ke tangan
orang lain” (Atja & Saleh Danasasmita, 1981: 29, 39, Ekadjati, 1995: 67),
dapat diketahui bahwa nagara atau ibu kota atau juga pusat pemerintahan,
biasanya dikelilingi oleh mandala. Dalam hal ini, antara mandala
dan nagara tentunya mempunyai sifat saling ketergantungan. Nagara
memerlukan mandala untuk dukungan yang bersifat moral dan spiritual, mandala
dianggap sebagai pusat kesaktian, dan pusat kekuatan gaib.
Dengan demikian masyarakat yang
tinggal di mandala mengemban tugas untuk melakukan tapa. Kemakmuran
suatu negara, keamanan masyarakat serta kejayaan raja sangat tergantung dengan
sikap raja terhadap kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, nagara perlu
memberi perlindungan dan keamanan, serta sebagai pemasok keperluan yang
bersifat materiil (fasilitas dan makanan), agar para pendeta/wiku dan
murid dapat dengan tenang mendekatkan diri dengan dewata.
Pendidikan Masa Islam
Sistem pendidikan yang ada pada masa
Hindu-Buddha kemudian berlanjut pada masa Islam. Bisa dikatakan sistem
pendidikan pada masa Islam merupakan bentuk akulturasi antara sistem pendidikan
patapan Hindu-Buddha dengan sistem pendidikan Islam yang telah mengenal
istilah uzlah (menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada sistem
pendidikan yang mengikuti kaum agamawan Hindu-Buddha, saat guru dan murid
berada dalam satu lingkungan permukiman (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962,
IV: 484—5; Munandar 1990: 310—311). Pada masa Islam sistem pendidikan itu
disebut dengan pesantren atau disebut juga pondok pesantren. Berasal dari kata funduq
(funduq=Arab atau pandokheyon=Yunani yang berarti tempat
menginap).
Bentuk lainnya adalah, tentang
pemilihan lokasi pesantren yang jauh dari keramaian dunia, keberadaannya jauh
dari permukiman penduduk, jauh dari ibu kota kerajaan maupun kota-kota besar.
Beberapa pesantren dibangun di atas bukit atau lereng gunung Muria, Jawa
Tengah. Pesantern Giri yang terletak di atas sebuah bukit yang bernama Giri,
dekat Gersik Jawa Timur (Tjandrasasmita, 1984—187). Pemilihan lokasi tersebut
telah mencontoh ”gunung keramat” sebagai tempat didirikannya karsyan dan
mandala yang telah ada pada masa sebelumnya (De Graaf & Pigeaud,
1985: 187).
Seperti halnya mandala, pada
masa Islam istilah tersebut lebih dikenal dengan sebutan ”depok”, istilah
tersebut menjadi nama sebuah kawasan yang khas di kota-kota Islam, seperti
Yogyakarta, Cirebon dan Banten. Istilah depok itu sendiri berasal dari
kata padepokan yang berasal dari kata patapan yang merujuk pada
arti yang sama, yaitu “tempat pendidikan. Dengan demikian padepokan atau
pesantren adalah sebuah sistem pendidikan yang merupakan kelanjutan sistem
pendidikan sebelumnya.
Pendidikan Masa Kolonial
Pada masa ini, wajah pendidikan
Indonesia lebih terlihat sebagai sosok yang memperjuangkan hak pendidikan. Hal
ini dikarenakan pada saat itu, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh
pemerintah kolonial adalah sistem pendidikan yang bersifat diskriminatif.
Artinya hanya orang Belanda dan keturunannya saja yang boleh bersekolah, adapun
pribumi yang dapat bersekolah merupakan pribumi yang berasal dari golongan
priyayi. Adapun prakteknya sistem pendidikan pada masa kolonial lebih
mengadopsi pendidikan ala Eropa.
Namun kemudian mulai timbul
kesadaran dalam perjuangan untuk menyediakan pendidikan untuk semua kalangan,
termasuk pribumi. Maka hadirlah berbagai institusi pendidikan yang lebih
memihak rakyat, seperti misalnya Taman Siswa dan Muhammadiyah.
Pada masa ini sistem Eropa dan
tradisional (pesantren) sama-sama berkembang. Bahkan bisa dikatakan, sistem ini
mengadopsi sistem pendidikan seperti yang kita kenal sekarang: Mengandalkan
sistem pendidikan pada institusi formal macam sekolah dan pesantren.
Pendidikan: Berawal dari Keluarga
Pendidikan abad 21 diwarnai dengan
pengaruh globalisasi. Berbagai sistem pendidikan berlomba-lomba diadopsi,
dikembangkan dan disesuaikan. Institusi-institusi pendidikan mulai menjamur.
Namun muncul kritik dari beberapa orang seperti Ivan Illich, yang menganggap
sistem pendidikan hanya berorientasi untuk menghasilkan tenaga kerja untuk
kepentingan industri semata. Pendidikan kehilangan maknanya sebagai sarana
pembelajaran.
Kemudian muncul sebuah ide Home
Schooling, yaitu pendidikan yang tidak mengandalkan institusi formal, tapi
tetap bisa dilakukan di rumah sesuai kurikulum. Home Schooling adalah
pola pendidikan yang dilatarbelakangi adanya ketidakpercayaan terhadap fenomena
negatif yang umum terdapat pada institusi formal: adanya bullying, serta
metode yang didaktis dan seragam.
Namun bukan berarti institusi
pendidikan formal tidak menyesuaikan diri. Kini, timbul kesadaran bahwa
prestasi bukanlah angka-angka yang didapat di ujian, atau merah-birunya rapor.
Melainkan adanya kesadaran akan pentingnya sebuah kurikulum berdasarkan
kompetensi.
Dari rangkaian sejarah pendidikan
yang panjang ini ada satu esensi yang bisa kita ambil yaitu seperti apapun
bentuknya, keberhasilan pendidikan pada dasarnya tidak hanya tanggung jawab
dari pengelola pendidikan saja tetapi juga menuntut peranan dari orangtua yang
tidak kalah pentingnya. Sejarah akan terus berulang: Pendidikan berawal dari
keluarga. (Bayu Galih/Rusyanti/Rian Timadar/Khairun Nisa, Mei 2008)
Pustaka:
Munandar, Agus Aris. 1990. Kegiatan
Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15. Tesis Magister
Humaniora. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Santiko, Hariani.
Santiko, Hariani. 1986. “Mandala (Kedwaguruan) Pada Masyarakat Majapahit,” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, buku IIb Aspek Sosial Budaya, Cipanas, 3—9 Maret 1986. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, halaman 304—18.
Santiko, Hariani. 1986. “Mandala (Kedwaguruan) Pada Masyarakat Majapahit,” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, buku IIb Aspek Sosial Budaya, Cipanas, 3—9 Maret 1986. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, halaman 304—18.
Ekadjati, Edi S.
1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Pustaka Jaya. Jakarta.
1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Pustaka Jaya. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar